Utarakannews.com, Parepare – DPRD Parepare menyoroti kebijakan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang menjadi isu nasional.
Dalam rapat, DPRD mendorong pembukaan posko pengaduan di seluruh kelurahan untuk menerima aspirasi masyarakat yang mengalami kenaikan nilai bayar PBB-P2.
Ketua DPRD Parepare, Kaharuddin Kadir, menyatakan pihaknya meminta agar membuka posko pengaduan di 22 kelurahan guna menampung aspirasi dan keberatan masyarakat terkait nilai bayar PBB. Hal itu diungkapkan usai memimpin rapat di Ruang Banggar DPRD, Selasa (19/8/2025).
“Kita dorong agar posko pengaduan dibuka di 22 kelurahan. Ini harus disosialisasikan, termasuk diumumkan di rumah-rumah ibadah, agar masyarakat tahu dan bisa mengadukan keberatannya,” ujar Kaharuddin.
Lebih lanjut, Kaharuddin mengacu pada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 900.1.13.1/4/4258/SJ tertanggal 14 Agustus 2025, yang menekankan pentingnya penyesuaian kebijakan pajak daerah dengan mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat.
“Jika kebijakan nilai bayar PBB-P2 menimbulkan keresahan, regulasi berupa Peraturan Kepala Daerah (Perkada) bisa dibatalkan, bahkan dicabut,” tegasnya.
Ia mengungkapkan, meski secara umum nilai PBB turun, terdapat sekitar 17,70% SPPT mengalami kenaikan nilai bayar. Hal ini menjadi fokus utama, sebab meski sebagian menurun, masyarakat tetap bisa merasa dirugikan akibat dampak NJOP terhadap nilai jual tanah.
“Jangan salah, meskipun nilai bayar turun, ada juga warga yang keberatan karena NJOP tinggi bisa memengaruhi nilai ekonomi tanah mereka,” tambahnya.
Wakil Ketua II DPRD Parepare, Muh. Yusuf Lapanna, menambahkan bahwa kenaikan tarif PBB banyak terjadi pada tanah dengan luas signifikan, terutama di wilayah Kecamatan Bacukiki dan Bacukiki Barat. Sesuai temuannya, kenaikan nilai bayar PBB-P2 bervariasi, antara 400 persen hingga 800 persen.
“Tanah luas tapi tidak produktif, tetap dikenai PBB lebih tinggi, bahkan ada kenaikan hingga 800 persen. Ini jadi beban masyarakat. Pemerintah perlu pikirkan mekanisme subsidi silang atau penyesuaian zona,” jelasnya.
Ia juga mengkritisi penerapan Perda Nomor 12 Tahun 2023 yang dinilainya tidak diterapkan secara menyeluruh. Menurutnya, hasil pembahasan Panitia Khusus (Pansus) DPRD belum sepenuhnya tercermin dalam kebijakan yang berlaku.
“Saya wakil ketua pansus saat itu. Saya lihat ada ketidaksesuaian implementasi. Maka saya minta dilakukan peninjauan ulang,” tegasnya.
DPRD berharap Pemkot melalui BKD dapat mengevaluasi kebijakan tarif PBB-P2 agar tidak membebani masyarakat, utamanya kelompok berpenghasilan rendah. Jika perlu, revisi atau pencabutan regulasi bisa dilakukan.
“Revisi bahkan pencabutan bisa dilakukan demi kepentingan masyarakat. Tapi kita beri ruang dulu kepada BKD untuk meninjau Kembali,” tandasnya.