Prospek Budidaya Kopi di Kota Parepare

kopi

Penulis : Muhammad Ikhsan, S. ST
Penyuluh Kehutanan UPTD KPH. Bila, Dinas LHK Provinsi Sulsel
Januari 2025


Kota Parepare merupakan salah satu wilayah dengan luas yang paling kecil dibanding dengan daerah atau kabupaten/kota lain di Sulawesi Selatan. Kota Parepare memiliki luas 99,33 km2 dengan kondisi topografi yang relative datar dan berbukit. Kota Parepare lebih dikenal dengan tepi laut/pantainya, karena merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal Pelni. Namun dibalik itu, Kota Parepare juga memiliki bukit atau pegunungan yang letaknya berada di Kecamatan Bacukiki, tepatnya di Kelurahan Watang Bacukiki dan Kelurahan Lemoe.

Selain potensi perairan laut (pantai), Kota Parepare juga memiliki Kawasan hutan lindung yang mencapai kurang lebih 2.000 hektar yang tersebar di pegunungan di Kecamatan Bacukiki, dengan potensi panorama yang cukup menarik termasuk potensi alam atau tanaman/pohon didalamnya.

Bacukiki merupakan salah satu penghasil jambu mente dan kemiri yang ada di Kota Parepare, termasuk di Sulawesi Selatan. Selain itu, ternyata juga memiliki potensi tanaman Kopi Robusta dan Arabika yang saat ini dibudidayakan oleh salah satu Kelompok Tani Hutan yakni KTH. Alam Jaya yang diketuai oleh Abd. Samad.

Budidaya kopi khususnya robusta (coffea canephora) ini sudah dilakukan kurang lebih 3 tahun, dan saat ini telah membuahkan hasil berupa produksi kopi yang sudah dinikmati dan dipasarkan oleh anggota kelompok.

Sebagai salah satu kelompok masyarakat yang berada disekitar hutan yang telah diberi akses legal melalui Program Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Kemasyarakatan (HKm), KTH. Alam Jaya tentu tetap memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian dalam pengelolaan kawasan hutan lindung, sehingga pola Agroforestry menjadi salah satu pilihan yang tepat diterapkan di lokasi tersebut, tepatnya di Bulu Roangnge.

Pola Agroforestry ini dilakukan dengan mengkombinasi tanaman pertanian, dengan tanaman kehutanan pada satu lahan dengan tujuan selain memiliki fungsi perlindungan/konservasi yang bagus juga memiliki fungsi ekonomi yang tinggi sebab produksi yang dihasilkan cukup beragam.

Jenis tanaman yang dibudidayakan oleh anggota KTH. Alam Jaya diantaranya, jambu mente, kemiri, kopi, kunyit, kayu manis, serta beberapa jenis tanaman kehutanan lainnya yang sudah tumbuh berpuluh tahun lamanya di lokasi tersebut, seperti jati lokal, cendana, mahoni, rotan. Untuk budidaya kopi robusta, ketinggian tempat yang dikembangkan di lokasi tersebut berada pada ketinggian 450 mdpl, lokasi yang sangat cocok untuk pertumbuhan tanaman kopi robusta.

Jumlah tanaman kopi robusta yang sudah dibudidayakan secara bertahap sebanyak 2.000 bibit tanaman yang sumber benihnya atau bibitnya didatangkan dan disemaikan langsung oleh anggota kelompok dengan lokasi persemaian berada di sekitar lokasi penanaman dimana lahan yang digunakan menanam kopi sekitar 4-5 hektar. Meskipun tanaman ini masih baru dibudidayakan oleh anggota KTH. Alam Jaya namun produksi biji kopi robusta yang dihasilkan di tahun lalu mencapai 20 kg.
Ada hal menarik sebenarnya sekaitan dengan budidaya kopi di Kota Parepare yang dikembangkan oleh KTH. Alam Jaya yakni tumbuhnya inisiatif masyarakat atau anggota kelompok tani untuk ikut menanam kopi, salah satunya anggota KTH.

Massumpuloloe dimana sebagian besar anggota kelompok mereka menanam kopi robusta di luar kawasan hutan (APL atau kebun petani). Hal ini tentu akan mempengaruhi pola pengolahan lahan petani, dimana sebelumnya mereka harus menebang kayu di lahan mereka, namun dengan menanam kopi mereka cukup menjadikan kopi sebagai tanaman sela tanpa harus mengganggu vegetasi kayu atau tanaman keras yang ada di sekitarnya.

Konsep pengolahan lahan ini sangat tepat dilakukan di tengah gempuran alih fungsi lahan yang kian marak dilakukan. Tanaman kopi bisa diintegrasikan dengan tanaman pangan lainnya seperti cabai. Bahkan oleh anggota KTH. Massumpuloloe mencoba memulai menanam kopi mengintegrasikan dengan tanaman jagung, dan saat ini dijadikan sebagai salah satu lokasi yang dipersiapkan sebagai percontohan pengembangan kopi yang terintegrasi dengan tanaman pangan di Kelurahan Watang Bacukiki.

Patut disyukuri bahwa dukungan dari pemerintah setempat, mulai dari pemerintah kelurahan hingga kecamatan cukup besar, termasuk tokoh masyarakat terhadap pengembangan budidaya kopi dengan pola agroforestry seperti yang dikembangkan oleh kelompok kehutanan saat ini di Kota Parepare. Beberapa komunitas pecinta lingkungan, dan mahasiswa telah banyak berkunjungan ke lokasi HKm baik yang melakukan penanaman pohon, magang ataupun melakukan penelitian seperti mahasiswa dari Universitas Hasanuddin Makassar.

Budidaya kopi robusta saat ini memiliki prospek yang cukup cerah untuk terus dikembangkan, apalagi di Kota Parepare industry kopi berkembang dengan pesat. Di sudut-sudut kota ramai dengan warung kopi, di hotel, kedai, café and resto hampir semua menyuguhkan menu kopi. Dan harus diakui bahwa, bahan baku kopi (biji kopi) yang ada dan tersebar di Kota Parepare sebagian besar berasal dari luar. Potensi pasar inilah mestinya ditangkap oleh petani kita di Kota Parepare termasuk di daerah tetangga seperti Barru, dan Sidrap. Harga kopi yang terus stabil bahkan mengalami peningkatan di tahun lalu juga hendaknya menjadi penyemangat bagi petani atau anggota kelompok tani hutan untuk terus mengembangkan tanaman kopi.

Melalui pembinaan dan fasilitasi dari penyuluh kehutanan serta pihak UPTD KPH Bila, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan serta dari pihak Balai PSKL Kementrian Kehutanan terhadap kelompok tani hutan Alam Jaya dan KTH. Massumpuloloe di Kecamatan Bacukiki, telah memberi dampak terhadap pemberdayaan dan peningkatan pendapatan anggota kelompok. Selain itu, harapannya tentu dengan penanaman kopi serta tanaman kayu lainnya diharapkan dapat berkontribusi terhadap pengendalian kerusakan lahan serta pengaturan tata air kita di Kota Parepare.

Harus diakui bahwa beberapa kendala masih terus dihadapi oleh anggota kelompok di antaranya akses lokasi yang cukup jauh, mereka melakukan perjalanan pendakian, kondisi topografi berbukit dengan jarak tempuh 2 – 3 jam jalan kaki, atau dengan motor trail atau motor yang sudah dimodifikasi dengan jarak tempuh skitar 30 menit dengan medan yang cukup berat. Kondisi ini tentu menjadi kendala yang terus dirasakan oleh anggota kelompok.

Di samping itu, aspek peningkatan nilai tambah hasil produksi masih terus perlu diupayakan, sebab sebagian besar anggota kelompok memproduksi kopi ataupun hasil kebun mereka seperti mente, kemiri dalam bentuk gelondongan. Ke depan tentu, pola-pola pembinaan akan terus diupayakan termasuk dengan membangun jejaring atau kolaborasi dengan pihak lain, utamanya pihak pengusaha.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *